Sejarah Cincin Kawin
Tradisi memberi cincin kawin telah berjalan selama berabad-abad. Dahulu kala, berupa rumput yang dianyam, kemungkinan yang pertama dipakai sebagai tanda ikatan perkawinan. Anyaman rumput yang dibentuk melingkar itu, kemudian diikatkan pada pergelangan tangan dan kaki kedua pengantin, sebagai simbol agar mereka tidak bisa melarikan diri. Gelang dari rumput itu kemudian diganti dengan digunakannya kulit, tulang, batu, perak dan emas. Sebelum mengenal permata sebagai penghiasnya.
Cincin pertunangan bermata berlian pertama kali digunakan menjelang abad ke-15, yaitu cincin pertunangan yang diberikan Pangeran Maximillian dari Austria untuk Mary dari Burgundy. Intan yang pertama kali ditemukan lebih dari 2000 tahun yang lalu itu hingga kini dianggap sebagai batu penghias terbaik. Ini disebabkan karena daya tahan alami yang dimiliki, sehingga intan menjadi lambang keberanian yang tak terkalahkan.
Ada yang percaya, bahwa dengan memandang isi intan, dia akan memperoleh kekuatan tenaga dalam. Ada juga yang menganggap intan sebagai penolak kejahatan. Intan yang dikenal sebagai batu mulia terkeras itu, kemudian dipakai sebagai simbol cinta abadi sepasang manusia. Sinar yang terpancar dari dalam intan, juga dipandang sebagai gelora cinta.
Pada mulanya intan yang menghiasi cincin masih berupa kristal yang belum digosok halus. Baru menjelang akhir abad ke-15 ditemukan tekhnik pemotongan dan penggosokkan. Pada semacam meja pemotong, dibawah batu intan, diletakkan kertas perak untuk menambah kilauannya. Namun, hasilnya masih jauh bila dibandingkan dengan hasil pemotongan zaman sekarang.
Pada abad ke-16, cincin Kawin model baru disebut gimmel atau cincin kembar menjadi mode. Ketika menikahi Catherine Bara, Martin Luther menggunakan cincin mode ini.
Pada abda ke-17, cincin kembar dihiasi simbol romantik lainnya. Misalnya saja dua tangan sedang berpegangan (lambang kesetiaan orang Italia). Kadang-kadang masih ditambahi intan berbentuk hati dan anak panah dewi asmara. Hati dan anak panah memang merupakan motif yang sering dipakai.
Cincin tanda (bertingkat), juga sangat populer. Biasanya di tengahnya ada batu yang dikelilingi intan-intan kecil. Ini melambangkan karangan bunga perkawinan dengan bunga mawar di tengahnya.
Ada juga model lain, dimana karangan bunga tadi diberi engsel, sehingga bisa dibuka tutup dan di dalamnya bisa disimpan tetesan parfum. Cincin kawin ini membuat jari pemakainya menyebarkan bau harum saat si pengantin pria mencium tangan pengantin wanita. Bahkan, di abda ke-18, memahatkan syair atau kata-kata pada cincin cinta atau cincin buah hati, menjadi mode.
Penemuan tambang emas di Brasil, ikut mempengaruhi kepopuleran intan. Untuk meningkatkan kilauan intan, dipakai teknik pemotongan dan penggosokkan baru. Menjelang akhir abad ke-18, pahatan cinta tidak lagi ditulis di dalam, tetapi diluar cincin.
Intan semakin mudah diperoleh sesudah abad ke-19, dengan menemukan tambang-tambang baru. Ini sejalan dengan Revolusi Industri. Akibatnya, lambang status ini makin banyak dipakai masyarakat umum. Di zaman victoria, misalnya, memberi wanita 2 cincin menjadi tradisi; satu cincin tanda pertunangan dan satunya lagi cincin perkawinan sesungguhnya.
Pada akhirnya, abad ke-19 orang lebih mengutamakan batunya dari pada cincinnya sendiri. Platina awal abad ke-20 mulai disukai, karena lebih kuat daripada perak atau emas. Si samping itu, platina bisa memegang intan dengan baik, dan juga intan tampak lebih berkilau.
Tambahan lagi, ditemukan tekhnik pemotongan baru yang dapat dipakai hingga sekarang, yang menghasilkan kilauan lebih banyak. Tradisi cincin kawin akan berlangsung dari abad ke abad dan dalam setiap abad, muncul bentuk-bentuk baru.
Saat ini, banyak sekali pilihan yang menarik bagi si calon pengantin, yang diantanya merupakan perkembangan dari zaman dahulu. Cincin tandan, soliter, dua tangan yang menggenggam hati, ini semua merupakan motif yang menjadi simbol dan komitmen cinta dari cincin pertunangan dan perkawinan.
Sejarah Cincin Kawin
Reviewed by Unknown
on
05.47
Rating:
Tidak ada komentar: